Gravity: Berangkat Dari Ketakutan Terbesar Manusia, yaitu Kesendirian


Film ini bakalan bikin kamu yang waktu kecil bercita-cita jadi astronot, bersyukur hal itu nggak pernah tercapai.

Menjadi astronot memang keren. Pergi ke luar angkasa seperti Howard Wolowitz dari serial The Big Bang Theory, meneliti bintang-bintang layaknya Raj Koothrappali dari serial yang sama, atau bahkan mungkin ada juga di antara kamu yang pernah mengkhayal terbang tinggi menuju angkasa seolah Buzz Lightyear dari Toy Story. Jadi bagian dari perang bintang seperti di Star Wars atau Star Trek mungkin pernah juga terlintas di benak kamu.

Lebih realistisnya, beberapa di antara kamu pasti banyak yang hobi banget tiduran di luar pada malam hari ketika langit cerah, menatap bintang-bintang. Atau karena terlalu banyak polusi cahaya dan bintang jadi nggak kelihatan, kamu cukup mencari gambar ‘starry sky’ di Google kemudian memasangnya jadi wallpaper handphone kamu.

Namun apa yang gue coba ajak ingat hal-hal seperti di atas, cuma bagian-bagian indah dari luar angkasa. Gravity, hadir untuk mengingatkan kamu bahwa luar angkasa nggak semuanya indah. Selalu ada dua sisi. Luar angkasa diam-diam menyimpan bahaya.

Film arahan Alfonso Cuarón berangkat dari ketakutan terbesar manusia, yaitu kesendirian. Kesasar di hutan belantara, tersesat di lautan samudera, bukan itu. Cuarón menyajikan kesendirian yang lebih menakutkan lagi, terdampar di luar angkasa.

Cerita ini berawal ketika Matthew Kowalsky (George Clooney), Ryan Stone (Sandra Bullock), dan Shariff (Paul Sharma) ditugasin ke luar angkasa buat ngebetulin satelit. Scene awal film ini dibuka dengan Stone sebagai spesialis atau bisa dibilang astronot pembantu gugup ketika ngebetulin satelit, Shariff yang sibuk sendiri entah ngapain, dan Kowalsky yang nggak berhenti ngomong sambil ngepot-ngepot dengan jetpack-nya. Tipikal orang ‘senior’ yang kebanyakan pengalaman, selalu butuh media buat berbagi dan sedikit pongah akan kisah hidupnya.


Di tengah-tengah misi, Houston mengabarkan bahwa ada ledakan yang menyebabkan satelit-satelit lain hancur. Houston memberi komando supaya misi dibatalkan dan segera kembali, karena –bukan hujan meteor seperti di film Meteor Garden– tapi hujan (serpihan) satelit mendekat dengan kecepatan... hmmm... kecepatan yang cukup buat puing itu nembus badan manusia dengan mudah.

Sayangnya, semua terlambat. Bukan, mungkin lebih tepatnya, hujan satelit itu meluncur terlalu cepat.

Pesawat ulang-alik mereka hancur lebur. Kowalsky dan Stone terombang-ambing di angkasa lepas, terpisah.


Beruntung ada jatpack. Kowalsky dapat meraih Stone kembali, dan mereka berdua kembali bersatu dan terombang-ambing bareng. Mereka ngepot-ngepot terbang ke stasiun terdekat, yaitu International Space Station (ISS). Dan lagi-lagi, Kowalsky ngeluarin celotehan keren selain ocehan tentang pengalaman hidupnya ketika keadaan masih baik-baik saja sebelumnya. Kowalsky mengeluarkan analisisnya, karena hujan satelit itu akan mengelilingi orbit bumi, dengan kecepatan mendekati peluru, maka akan ada hujan satelit lagi dalam 90 menit.

Dan yak, hujan satelit terjadi lagi. Sialnya itu terjadi sesaat setelah mereka sampai di ISS. Stasiun pun hancur dan kali ini, Kowalsky dan Stone benar-benar terpisah, Stone masih terikat di ISS, dan Kowalsky benar-benar mengapung lepas di angkasa. Kadar oksigen di baju astronot Stone tinggal kurang dari 6%. Yang terburuk, Stone sekarang jadi benar-benar sendiri. Tanpa Kowalsky beserta wejangan-wejangan hidupnya.

Lalu gimana kelanjutannya? Apakah Stone berhasil pulang ke bumi? Apakah Stone bertemu Kowalsky kembali? Jawabannya cuma bisa kamu dapatkan dengan menonton film yang dijamin bakal berhasil bikin kamu berkali-kali tahan napas.

Cuarón berhasil naik-turunin emosi penonton dengan peak konflik yang berulang-ulang, tapi nggak ngebosenin. Bukan cuma tegang, tapi emosi yang muncul juga emosi sedih, terenyuh, takut, bahkan rindu. Ya, kamu yang menonton ini pasti sama merasakan rindu akan bumi.


Kamu juga akan dibuat terkesima dengan ‘kicauan’ Kowalsky ketika berbagi pengalaman hidupnya dan gimana dia mengayomi Stone sang astronot pembantu –yang sebenernya insinyur medis–. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Kowalsky dijamin bikin yang para cewek tenang, dan yang cowok mendadak pengin jadi seperti Kowalsky.

Gravity dibuat untuk jadi film 3D, tapi ketika gue tonton film ini di IMAX, ternyata nggak terlalu ‘3D’, kecuali di bagian hujan satelit. Tapi, nonton di IMAX jadi poin plus karena layarnya yang besar itu bisa menampung semesta yang indah seperti digambarkan dalam Gravity, seolah layar bioskop biasa nggak akan muat menampungnya. Dan ya, sound-nya itu, harus yang paling maksimal biar semakin larut dalam film karena beberapa scene dibuat dari sudut pandang astronotnya, jadi kamu bisa ngerasain seolah diri kamu bagian dari film.

Terakhir, singkat kata, siapin oksigen tambahan ketika masuk studio untuk menonton Gravity.

Dan ya, kalau kamu nontonnya bareng gebetan, Gravity bakal jadi bahan obrolan menarik untuk dibahas dan jadi memori yang membuat hati terjatuh karena gravitasi percakapan yang mesra dan seru di antara kalian.